Penambahan Protein Belut Sawah Pada Pembuatan Edible Film Pati Tapioka Termodifikasi

budidaya belut
PENDAHULUAN Pada akhir-akhir ini, penelitian yang mengarah ke perlindungan lingkungan (friendly environment) menjadi perhatian utama dalam segala bidang termasuk teknologi bahan kemasan pangan. Bahan kemasan pangan yang paling banyak digunakan saat ini adalah plastik. Ada beberapa alasan mengapa bahan kemasan ini banyak digunakan, diantaranya adalah: 1) mudah didapat; 2) harga relatif murah, dan; 3) mudah dicetak atau disablon. Namun, plastik mempunyai kelemahan, yaitu: 1) plastik tidak bisa dirombak (non-biodegradable) sehingga dapat menyebabkan pencemaran lingkungan, dan; 2) plastik dapat mencemari makanan yang dikemasnya karena adanya monomer-monomer penyusun plastik yang dapat terurai dari polimernya sehingga bereaksi dengan makanan dan ini dapat menyebabkan karsinogenik. Dengan demikian, penggunaan bahan kemasan plastik harus dikurangi. Ada beberapa cara yang telah dilakukan dalam mengurangi penggunaan plastik, yaitu pengembangan plastik yang bersifat biodegradable dan pengembangan bahan kemasan pangan yang tidak hanya bersifat biodegradable tapi juga bersifat edible, bahan kemasan ini sering disebut edible film, yaitu lapisan tipis yang melapisi bahan pangan dan aman dikonsumsi. Penelitian tentang edible film telah lama dilakukan oleh para peneliti dengan memanfaatkan bahan baku lokal seperti di Jepang, Amerika Serikat, Thailand dan lain sebagainya. Di Indonesia penelitian ini telah berkembang pesat, seperti penggunaan pati tapioka, pati ganyong, dan pati-pati lainnya. Penggunaan pati tapioka (native starch) diinkorporasi dengan senyawa lain seperti protein, ikatan yang terjadi antara protein dengan pati tidak sempurna karena protein terikat secara acak dan sifatnya tidak stabil sehingga edible film yang dihasilkan sulit untuk memenuhi JIS 1975.

Oleh karena itu, pati tapioka sebelum digunakan harus dimodifikasi terlebih dahulu. Metode yang sesuai pada pembuatan pati termodifikasi dengan tujuan untuk bahan baku edible film adalah metode ikatan silang (cross linking). Ikatan silang akan terjadi antara molekul amilosa dengan amilosa lain dengan menggunakan POCl3, ikatan ini akan membentuk jala tiga dimensi. Dengan terbentuknya jala tiga dimensi ini maka protein akan berikatan dan terperangkap dalam jala tersebut. Selain itu, apabila protein yang digunakan adalah protein yang mempunyai struktur protein fibriler, jenis protein ini berbentuk serabut dan terbentang memanjang sejajar, struktur ini memudahkan protein untuk berikatan dengan ikatan silang yang ada. Protein yang mempunyai struktur fibriler paling banyak terdapat pada protein jenis ikan, seperti belut sawah. Kelebihan ikatan silang adalah matrik yang terbentuk kuat dan protein yang diinkorporasi terperangkap dalam ikatan silang. Hal ini dapat berpengaruh pada karakteristik edible film antara lain dapat menurun laju transmisi uap air (g/m2 hari), Aw edible film lebih rendah, daya adhesi film lebih baik, dan memungkingkan dapat terbentuk ikatan kompleks antara karbohidrat dengan protein pada matrik film sehingga film sulit untuk dirusak oleh mikroorganisme. METODE PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Kimia Hasil Pertanian Jurusan Teknologi Pertanian UNSRI Indralaya dan laboratorium POLTEK Negeri Palembang. Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Maret 2010 sampai Nopember 2010. Bahan-bahan yang dipergunakan adalah pati tapioka, POCl3, Na2SO4, gliserol, lilin lebah (beeswax), CMC dan bahan-bahan kimia untuk analisa. Alat-alat yang dipergunakan adalah blender, ayakan, water bath, oven pengering, pH meter, magnetic stirrer, termometer, neraca, dan desikator.
Prosedur kerja penelitian ini dilaksanakan dalam dua tahap, yaitu sebagai berikut: 1) Pati Termodifikasi (Cross Linking): Natrium sulfat (Na2SO4) sebanyak 30g (15% berat kering dari pati tapioka) ditambahkan ke dalam 300 ml air destilasi sambil diaduk dengan pengaduk magnetik stirrer skala 3, Setelah larut sempurna ditambahkan pati sebanyak 200g sambil tetap diaduk. NaOH 5% ditambahkan sambil diaduk dengan magnetik stirrer skala 8 untuk mencegah pati tergelatinisasi dan mengatur pH larutan mencapai 10.5 kemudian ditambahkan 10% propilen oxida dan diaduk 30 menit pada suhu ruang. Larutan diinkubasi dengan inkubator shaker pada suhu 40+2ºC (200rpm,24jam). POCl3 sesuai perlakuan, yaitu sebanyak 0.08% (Perlakuan terbaik pada penelitian Yuniar, 2007), ditambahkan sambil diaduk dengan skala 8 menggunakan pengaduk magnetik stirrer selama 30 menit kemudian diinkubasi pada suhu 40+2ºC (200rpm, 2jam), pH larutan diatur 5,5 dengan 10% larutan HCl yang bertujuan untuk menghentikan reaksi. Pati disaring menggunakan kertas Whatman no 4 sambil dicuci dengan air destilasi selama 5 menit. Pengeringan pati dilakukan pada suhu 45ºC selama 6 jam sehingga didapatkan pati dengan kadar air 10-12%. 2) Pembuatan Edible film, yaitu pati tapioka termodifikasi dengan menggunakan POCl3 0,08% disiapkan. Pati dibuat suspensi dalam Beaker gelas sebanyak (sebagai perlakuan 3%, 4%, dan 5% (b/v). Suspensi pati dipanaskan dengan suhu 70oC menggunakan hot plate sambil diaduk dengan magnetik stirrer, Setelah mencapai gelatinisasi, secara perlahan ditambah dengan surimi belut sawah) dengan perlakuan 2,4, dan 6%(b/v). Penambahan gliserol sebanyak 3% (v/v) dan diaduk selama 5 menit, penambahan tween 80 sebanyak 2% (v/v) diaduk selama 5 menit. Penambahan lilin lebah (beeswax) 3% (b/v) dan diaduk selama 10 menit. Pembuangan gas terlarut (degassing) dalam suspensi pati 75 kpa selama 20 menit, suspensi tersebut dituangkan di atas kaca berbingkai untuk dicetak dan selanjutnya dikeringkan dengan menggunakan oven pengering suhu 700C selama 12 jam, Edible film diangkat dari cetakan dan dibungkus dengan plastik kemudian dimasukan dalam desikator selama 24 jam. Edible film siap untuk dianalisa, dan Data diolah dengan menggunakan rancangan percobaan RALF. HASIL DAN PEMBAHASAN Pati Tapioka Termodifikasi Karaterisasi sifat fisik dan kimia pati ini adalah penelitian tahap pertama. Pati ubi kayu yang digunakan dimodifikasi dengan menggunakan senyawa POCl3 metode ikatan silang (cross linking). Karateristik fisik dan kimia pati ubi kayu murni dan termodifikasi seperti pada Tabel 2.

Secara umum kandungan amilosa pati ubi kayu tersebut mengalami penurunan setelah dilakukan proses modifikasi metode ikatan silang (cross linking) dengan menggunakan POCl3. Selain itu, semakin meningkatkatnya konsentrasi POCl3 kandungan amilosa semakin menurun. Hal ini dapat dijelaskan dengan dua alasan, yaitu secara fisik dan secara kimia. Secara fisik molekul amilosa mempunyai afinitas yang lebih tinggi terhadap senyawa POCl3 dibanding amilopektin, karena amilosa adalah molekul yang berbentuk rantai lurus dan gugus fungsional khususnya OH pada atom C-2 yang paling reaktif posisinya lebih terbuka atau lebih mudah terjangkau oleh senyawa POCl3 dibanding dengan amilopektin. Senyawa amilopektin bentuknya bercabang, dengan bentuk ini afinitas POCl3 rendah, karena letak gugus fungsional OH pada posisi tersembunyi atau didalam lipatan cabang. Secara kimia, gugus fungsional OH khususnya pada atom C-2 sangat bebas dan mudah sekali bereaksi dengan senyawa lain karena posisi sangat terbuka dan dibanding gugus fungsional OH atom C-2 pada amilopektin agak lebih sulit, karena rantai cabang akan membentuk ikatan hidrogen antara cabang yang satu dengan yang lain, hal ini yang menyebabkan POCl3 sulit untuk bereaksi dengan OH. Gugus OH yang dapat disubstitusi dengan gugus lain dalam satu unit anhidroglukosa ada empat gugus OH, yaitu gugus OH yang terdapat pada C-2, C-3, dan C-4 (ketiganya merupakan gugus OH sekunder) dan C-6 yang merupakan gugus OH primer.


DOWNLOAD

Comments

Popular posts from this blog

SOP Instalasi UPJ.doc - Contoh SOP

Proposal Penelitian - Penelitian Perancangan Alat Dan Pembuatan Biogas Dari Kotoran Ternak.docx

PROPOSAL PENELITIAN KUALITATIF GAMBARAN MANAJEMEN PEMBELAJARAN TIK DI SMA NEGERI 1.doc