Hak-hak Masyarakat Hukum Adat Mengelola Sumber Daya Alam.pdf


makalah kehutanan
Latar Belakang
Hutan sebagai sumberdaya alam harus dimanfaatkan untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat seperti dimandatkan dalam pasal 33 UUD 1945. Dasar hukum
pemanfaatan hutan tersebut di Indonesia bertumpu pada makna pasal 33 ayat 3 yang ditujukan
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Undang Undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang
Ketentuan – ketentuan Pokok Kehutanan bermaksud menerapkan tujuan tersebut melalui
pendekatan timber management tetapi tidak mengakomodir suatu pola pengelolaan yang
bersifat menyeluruh dalam forest management atau ecosystem management yang
mengakomodasi-juga aspek sosial budaya maupun ekonomi dan kelestarian lingkungan yang
berkelanjutan.
Diberbagai tempat di Indonesia berlaku hukum adat, antara lain tentang pembukaan
hutan untuk usaha perladangan dan pertanian lainnya, penggembalaan ternak, pemburuan
satwa liar dan pemungutan hasil hutan, serta diberbagai areal hutan dikelola secara lestari oleh
masyarakat hukum adat sebagai sumber kehidupannya dengan segala kearifannya.
Keberadaan berbagai praktek pengelolaan hutan oleh masyarakat adat dikenal dengan
berbagai istilah seperti Mamar di Nusa Tenggara Timur, Lembo pada masyarakat Dayak di
Kalimantan Timur, Tembawang pada masyarakat Dayak di Kalimantan Barat, Repong pada
Masyarakat Peminggir di Lampung, Tombak pada masyarakat Batak di Tapanuli Utara.
Praktek tersebut menunjukan bahwa masyarakat adat telah dan mampu mengelola sumber
daya alam termasuk hutannya secara turun-temurun. Pola-pola ini diketahui memiliki sistem
yang sangat terkait dengan pengelolaan hutan alam, hutan tanaman, kebun dan usaha
pertanian sehingga bentuknya sangat beragam, dinamis, terpadu yang menghasilkan berbagai
manfaat bagi masyarakat dan lingkungan, baik secara ekonomi, sosial budaya, religi, dan
ekologi (Suhardjito, Khan, Djatmiko dkk). Undang-undang Pokok Agraria tahun 1960 telah
mencoba mewujudkan pengakuan hukum adat, berarti hukum adat didudukkan dalam sistem
hukum nasional. Tetapi dalam praktek penerapan maupun peraturan turunannya, jauh dari
kenyataan.
Semenjak pihak swasta padat modal dan BUMN dekade tahun ’70 an diberi
kesempatan “utama” dalam pemanfaatan hutan dalam bentuk HPH, HPHH, HTI, maka
masyarakat di sekitar dan di dalam hutan, khususnya masyarakat hukum adat dirugikan dalam
pemanfaatan hutan karena hutan adat dianggap “milik” nasional sehingga terjadilah ekploitasi
hutan berlebihan, penebangan ilegal, serta konflik dengan masyarakat hukum adat yang
berkepanjangan atas pe”milik”kan dan pe”nasional”an manfaat hutan adat didalam wilayah
adat.
Konflik atas tanah dan sumber daya hutan yang berlarut-larut ini menimbulkan efek
sosial politik dan ekonomi yang merugikan, perlu dihindari atau dituntaskan melalui
1 Tulisan dengan revisi disampaikan pada acara Seminar Perencanaan Tata Ruang Secara Partisipatif
oleh WATALA dan BAPPEDA Propinsi Lampung, 11 Oktober 2000 di Bandar Lampung.
Tulisan ini merupakan bagian dari naskah akademis yang disajikan untuk Departemen Kehutanan dan
Perkebunan pada pertengahan tahun 1999 dalam usaha mengakomodir hak-hak masyarakat hukum
adat dalam kawasan hutan dan dipresentasikan dalam bentuk paper dan telah dibawakan dalam
Roundtable Discussion di Wisma PKBI tanggal 20 Oktober 1999. Ucapan terima kasih disampaikan
juga kepada Bpk. Dr. Ronald Z. Titahelu,S.H,M.S, Prof. Maria Soemardjono,S.H dan Dr.Astrid
Soesanto atas masukannya dalam naskah akademis tersebut.
2 ICRAF-SEA pengaturan pengakuan hak masyarakat hukum adat terutama tentang wilayah masyarakat
hukum adat dalam kawasan hutan negara.
Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor 677/Kpts-II/1998 tentang
Hutan Kemasyarakatan, Peraturan Pemerintah No 6 tahun 1998 tentang Pengusahaan Hutan
Produksi serta Undang-Undang Pokok Kehutanan no 5 tahun 1967 merupakan contoh
kebijakan yang secara jelas mengatur dan membatasi akses masyarakat setempat dalam
pemanfaatan kawasan hutan, khususnya hak-hak masyarakat hukum adat, .
Dengan adanya TAP MPR Nomor XVII tahun 1998 tentang Hak Asasi Manusia,
maka hak pemajuan dan perlindungan keberadaan masyarakat hukum adat termasuk di
dalamnya tanah ulayat telah diakomodir, (pasal 30,31 dan 42) yang selanjutnya dapat
dijadikan acuan dalam menyelesaikan konflik atas wilayah masyarakat hukum adat di
kawasan hutan agar kelestarian hutan dapat tercapai3. Terlebih lagi dengan diterbitnya
Undang-Undang Pemerintah Daerah no 22 tahun 1999, Peraturan Menteri Agraria/Kepala
BPN no 5 tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat
Hukum Adat demikian pula dengan terbitnya Undang Undang Kehutanan yang baru no 41
tahun 1999 semakin jelas bahwa pengakuan hak-hak masyarakat hukum adat dapat segera
dilakukan di daerah masing-masing dan diharapkan bukan hanya pengakuan yang
memberikan kepastian hukum tetapi juga diikuti dengan pemulihan hak-haknya. Ini semua
sejalan dengan GBHN 1999-2004 dalam aspek pertanahn yang mengatakan secara tegas;
…Dikembangkan kebijakan pertanahan untuk meningkatkan pemanfaatan dan
penggunanan tanah secara adil, transparan dan produktif dan mengutamakan hak-hak
rakyat setempat, termasuk hak ulayat dan masyarakat adat, serta berdasarkan tata ruang
wilayah seimbang.



DOWNLOAD DI SINI

Comments

Popular posts from this blog

SOP Instalasi UPJ.doc - Contoh SOP

Proposal Penelitian - Penelitian Perancangan Alat Dan Pembuatan Biogas Dari Kotoran Ternak.docx

PROPOSAL PENELITIAN KUALITATIF GAMBARAN MANAJEMEN PEMBELAJARAN TIK DI SMA NEGERI 1.doc